728x90 AdSpace

Pos Terbaru

Untaian Faedah Surat al-Fatihah

Faidah Dari Ayat Pertama

al-Hamdu lillahi Rabbil 'alamin
Artinya: Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam

  1. Ayat ini menunjukkan bahwa yang berhak mendapatkan segala bentuk pujian hanyalah Allah ta'ala karena Dia lah yang memiliki segala kebaikan yang sempurna dan berbuat ihsan/kebaikan secara menyeluruh (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 26)
  2. Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma mengatakan, “al-Hamdu lillah adalah ucapan setiap orang yang bersyukur.” Abu Nashr al-Jauhari mengatakan, “al-Hamdu/pujian adalah lawan dari celaan.” (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/29])
  3. Ucapan al-Hamdu lillah adalah doa yang paling utama. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Seutama-utama dzikir adalah laa ilaha illallah, sedangkan seutama-utama doa adalah al-Hamdu lillah.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab ad-Da'awat [3383], dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani, lihat juga al-Mustadrak [1886], al-Hakim berkata, “Hadits ini sanadnya sahih dan tidak dikeluarkan Bukhari dan Muslim.” Syaikh Muqbil mengatakan, “Tidak, Musa bin Ibrahim -salah satu periwayat- dikomentari adz-Dzahabi dalam al-Mizan bahwa dia 'shalih'. Padahal perawi yang dikatakan 'shalih' haditsnya tidak bisa terangkat ke derajat hasan.” lihat al-Mustadrak [1/682])
  4. Allah memuji diri-Nya sendiri, yang di dalamnya tersirat perintah kepada hamba-hamba-Nya untuk memuji-Nya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 9, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/29])
  5. Penetapan pujian kepada Allah dari segala sisi atas kesempurnaan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya (Taisir al-Karim ar-Rahman, lihat al-Majmu'ah al-Kamilah [1/34])
  6. Ayat ini menunjukkan bahwa keberadaan makhluk-makhluk adalah bukti keberadaan Allah Dzat yang telah menciptakannya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 27)
  7. Ayat ini juga mengandung bantahan bagi kaum Jahmiyah yang menolak sifat-sifat Allah (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 55)
  8. Ayat ini juga mengandung bantahan bagi kaum Jabriyah yang beranggapan bahwa Allah memaksa hamba-hamba-Nya dan tidak memberikan pilihan sama sekali bagi mereka di dalam hidupnya (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 55)
  9. Penetapan bahwasanya hanya Allah ta'ala yang berhak mendapatkan pujian yang sempurna karena imbuhan al dalam kata al-Hamdu menunjukkan makna mencakup keseluruhan bagiannya (lihat Tafsir Juz 'Amma, hal. 9)
  10. Pengenalan tentang sosok yang patut untuk disembah; yaitu Allah subhanahu wa ta'ala melalui tiga nama Allah yang itu menjadi poros asma'ul husna, yaitu Allah, ar-Rabb, dan ar-Rahman (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 7)
  11. Dalam segala kondisi Allah tetap berhak mendapatkan pujian. Oleh sebab itu apabila Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam merasakan sesuatu yang menyenangkan beliau maka beliau pun berdzikir, 'Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush shalihaat' artinya: “Segala puji bagi Allah yang dengan curahan nikmat-Nyalah maka segala kebaikan menjadi sempurna”. Demikian juga apabila beliau menjumpai keadaan yang sebaliknya (tidak menyenangkan) maka beliau berdzikir, 'Alhamdulillahi 'ala kulli haal' artinya: “Segala puji bagi Allah dalam kondisi apapun” (lihat Tafsir Juz 'Amma, hal. 9). Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, beliau menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasanya apabila melihat sesuatu yang membuat beliau senang maka beliau berkata, “Alhamdulillahilladzi bini'matihi tatimmush shalihat.” Dan apabila melihat sesuatu yang kurang beliau senangi maka beliau berkata, “Alhamdulillahi 'ala kulli haal.” (HR. Thabrani dalam ad-Du'a [1769] sanadnya dinyatakan hasan, lihat ad-Du'a li ath-Thabrani [3/1595-1596]. al-Hakim dalam al-Mustadrak [1892], beliau berkata, “Hadits ini sanadnya sahih dan tidak dikeluarkan Bukhari dan Muslim.” Syaikh Muqbil berkata, “Zuhair bin Muhammad -salah satu periwayat- apabila haditsnya diriwayatkan oleh orang-orang Syam maka riwayatnya adalah lemah. Sedangkan al-Walid bin Muslim -orang yang meriwayatkan darinya- adalah penduduk Syam.” lihat al-Mustadrak [1/684])
  12. Yang dimaksud pujian -al-Hamdu- di sini adalah sanjungan yang diiringi dengan rasa cinta dan pengagungan (lihat Tafsir Juz 'Amma Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 8, Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 7, adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [1/32])
  13. Allah senantiasa dipuji dikarenakan kesempurnaan dzat-Nya, keindahan nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta keagungan perbuatan-perbuatan-Nya. Selain itu Allah juga dipuji karena anugerah nikmat yang dicurahkan oleh-Nya kepada seluruh makhluk-Nya (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 12 dan Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 23).
  14. Allah juga terpuji karena ketetapan hukum-Nya, yaitu hukum kauni -hukum yang berlaku bagi semua ciptaan-Nya di dalam dunia ini- demikian juga hukum syar'i -yang berupa ketetapan hukum ilmiah dan amaliah bagi mukallaf/orang yang dibebani syari'at- begitu pula dalam hal hukum ukhrawi yang ditetapkan oleh-Nya berupa balasan dan hukuman bagi hamba-Nya di alam akherat (lihat Jam'ul Mahshul fi Syarh Risalah Ibnu Sa'di fi al-Ushul, hal. 13-14)
  15. Pujian (al-Hamd) berbeda dengan syukur. Karena pujian itu diberikan sebagai tanggapan atas sifat-sifat muta'addiyah (yang memiliki pengaruh terhadap objek) maupun sifat-sifat lazimah (yang hanya melekat pada yang disifati, tidak mempengaruhi objek). Adapun syukur diberikan sebagai tanggapan atas sifat-sifat muta'addiyah semata. Selain itu pujian diwujudkan melalui ucapan saja, sedangkan syukur diwujudkan dalam bentuk keyakinan hati, ucapan, dan amal anggota badan (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 8, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/29])
  16. Iman terhadap nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya (Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/33])
  17. Penetapan tauhid asma' wa shifat (Taisir al-Karim ar-Rahman, lihat al-Majmu'ah al-Kamilah [1/37])
  18. Penetapan Allah sebagai satu-satunya yang berhak untuk diibadahi (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/33,37]). Allah mendahulukan sifat uluhiyah -yang terkandung dalam kata Allah- daripada sifat rububiyah -yang terkandung dalam kata Rabb-, hal ini dimungkinkan karena 2 alasan: Pertama, karena kata Allah itu adalah nama khusus bagi-Nya yang disifati oleh Asma'ul Husna yang lain sehingga dikedepankan. Atau yang kedua, karena orang-orang yang didakwahi oleh para rasul adalah golongan orang-orang yang menolak keesaan Allah dalam hal uluhiyah-Nya, artinya mereka membagi-bagi ibadah mereka tidak hanya untuk Allah tapi juga untuk selain-Nya (lihat Tafsir Juz 'Amma, hal. 9). Karena Allah satu-satunya pemelihara seluruh alam semesta ini maka hanya Allah pula yang berhak untuk diibadahi, tidak ada yang menerima ibadah selain Allah (lihat Risalah Tsalatsat al-Ushul dalam Majmu'ah at-Tauhid, hal. 20)
  19. Penetapan tauhid rububiyah (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/37], Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 8). Rububiyah Allah mencakup semua makhluk (lihat Tafsir Juz 'Amma, hal. 9). Ayat ini -al-Hamdu lillahi Rabbil 'alamin- menunjukkan keesaan Allah dalam hal rububiyah-Nya (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 8). Rububiyah Allah itu mencakup tiga hal pokok, yaitu: mencipta, menguasai, dan mengatur alam semesta (lihat Tafsir Juz 'Amma, hal. 9). Tauhid rububiyah merupakan landasan dan dalil untuk menundukkan orang-orang yang menentang tauhid uluhiyah (lihat adh-Dhau' al-Munir [1/36])
  20. Rabb adalah Dzat yang mentarbiyah hamba-hamba-Nya. Dia lah yang menciptakan mereka dan kemudian menunjuki mereka kepada kemasalahatan dirinya. Selain itu, Rabb juga bermakna yang menguasai dan mengatur serta memperbaiki keadaan (lihat adh-Dhau' al-Munir [1/24], Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/31])
  21. Bantahan bagi kaum atheis yang mengingkari adanya pengatur alam semesta ini (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 9, Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 27)
  22. Allah telah menanamkan fitrah di dalam hati umat manusia untuk meyakini keberadaan Allah Yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 28)
  23. Bantahan bagi paham wahdatul wujud -kesatuan antara Allah dengan makhluk- (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 51)
  24. Penetapan tarbiyah Allah kepada makhluk-Nya, baik yang bersifat umum -mencakup seluruh makhluk- maupun yang bersifat khusus -yang diberikan hanya kepada wali-wali-Nya- (Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/34], lihat juga al-Qowa'id al-Hisan, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [8/92])
  25. Penetapan nubuwwah (kenabian) dan kebutuhan umat manusia terhadapnya. Karena tidak mungkin Allah sebagai Rabbul 'alamin meninggalkan umat manusia dalam keadaan sia-sia; tidak menunjukkan kepada mereka apa yang bermanfaat dan apa yang membahayakan dirinya (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 7-8)
  26. Penetapan keesaan Allah dalam hal penciptaan alam semesta, pengaturan, dan pemberian nikmat, sekaligus menunjukkan betapa besarnya kebutuhan seluruh makhluk kepada-Nya (Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/34])
  27. Ayat ini mengandung pilar ibadah yang sangat agung yaitu al-Mahabbah/rasa cinta. Karena Allah adalah al-Muhsin -yang melimpahkan segala kebaikan- dan Dia juga al-Mun'im -yang mencurahkan semua nikmat- maka sebagai konsekuensinya adalah hanya Allah yang layak dicintai dengan puncak kecintaan yang tertinggi dan tidak boleh ditandingi dengan kecintaan kepada apapun juga (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 12)

Faidah Dari Ayat Kedua

ar-Rahmanir Rahim
Artinya: Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

  1. Penyebutan ar-Rahmanir Rahim setelah al-Hamdu lillahi Rabbil 'alamin adalah dalam rangka mengiringi tarhib (peringatan yang tersirat dari nama Rabb) dengan targhib (motivasi yang terkandung dalam nama ar-Rahman dan ar-Rahim) (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/32], at-Tas-hil li Ta'wil at-Tanzil, [1/44-45]). Ayat ini -sebagai kelanjutan dari ayat sebelumnya- menunjukkan bahwa rububiyah (kekuasaan dan pengaturan) Allah dilandasi dengan sifat kasih sayang yang sangat luas, bukan rububiyah yang dibangun di atas sifat suka menyiksa dan menghukum (lihat Tafsir Juz 'Amma, hal. 10)
  2. Penetapan sifat rahmat yang luas pada diri Allah, baik rahmat yang meliputi semua makhluk maupun rahmat yang hanya diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/33])
  3. Nama Allah ar-Rahman juga mengandung makna suka memberikan kebaikan, bersifat dermawan, dan suka berbuat kebajikan (lihat al-Fawa'id, hal. 21)
  4. Selain mengandung penetapan kenabian dan kerasulan -sebagai konsekuensi rahmat Allah- maka nama ar-Rahman juga mengandung faidah penetapan mengenai diturunkannya kitab-kitab sebagai pembimbing perjalanan hidup umat manusia (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 8). Konsekuensi dari sifat rahmat ini adalah Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab untuk membimbing manusia demi kebahagiaan hidup mereka. Perhatian Allah untuk itu jelas lebih besar daripada sekedar perhatian Allah untuk menurunkan hujan, menumbuhkan tanam-tanaman dan biji-bijian di atas muka bumi ini. Siraman air hujan membuahkan kehidupan tubuh jasmani bagi manusia. Adapun wahyu yang dibawa oleh para rasul dan terkandung di dalam kitab-kitab merupakan sebab hidupnya hati mereka (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 8).
  5. Berangkat dari faidah di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang ingin mendapatkan rahmat Allah yang sempurna di dunia dan di akherat maka dia harus tunduk kepada syari'at Rasul yang diutus kepadanya. Sehingga pada jaman sekarang ini -setelah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam- siapa saja yang ingin masuk surga dia harus tunduk kepada ajaran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
  6. Mengimani sifat rahmat yang terkandung pada nama ar-Rahman dan ar-Rahim serta tidak menyelewengkan maknanya menjadi irodatul in'am/kehendak untuk memberikan nikmat sebagaimana yang dilakukan oleh kaum ahli bid'ah (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 15, Syarh 'Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah, hal. 65)
  7. Nama ar-Rahman bermakna Allah pemilik rahmat yang maha luas mencakup seluruh makhluk di dunia dan bagi kaum beriman di akherat. Adapun nama ar-Rahim bermakna Allah pemilik rahmat bagi kaum beriman kelak pada hari kiamat (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 15)
  8. Di dalam ayat ar-Rahmanir Rahim terkandung salah satu pilar ubudiyah yaitu roja'/harapan. Dengan merenungkan ayat ini seorang hamba akan senantiasa mengharapkan rahmat Allah subhanahu wa ta'ala. Sebab apabila Allah itu adalah sosok yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tentu saja kasih sayang-Nya adalah sangatlah diharapkan (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 18)

Faidah Dari Ayat Ketiga

Maaliki Yaumid Diin
Artinya: Yang Menguasai Pada Hari Pembalasan

  1. Penyebutan Allah sebagai raja yang menguasai pada hari pembalasan tidaklah menafikan kekuasaan Allah di dunia, karena di awal surat al-Fatihah Allah telah menegaskan bahwa diri-Nya adalah Rabb seru sekalian alam; dan itu berlaku di dunia maupun di akherat. Penyebutan Allah sebagai raja dan penguasa pada hari kiamat adalah karena pada hari itu tidak ada lagi orang yang bisa mendakwakan kekuasaan, bahkan tak ada yang boleh berbicara kecuali dengan izin dari-Nya (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/33])
  2. Penetapan kekuasaan bagi Allah yang mengandung konsekuensi memerintah dan melarang, memberikan pahala dan menjatuhkan hukuman (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/35])
  3. Penetapan tauhid asma' wa shifat (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 8)
  4. Iman kepada hari akhir, kebangkitan setelah kematian, hisab, dan pembalasan amal (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah hal. 10, at-Tas-hil li Ta'wil at-Tanzil [1/45-46], Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 29)
  5. Penanaman rasa takut terhadap hari kiamat dan khawatir akan hukuman Allah (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah hal.18)
  6. Adanya pembalasan amalan dengan penuh keadilan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/37])
  7. Adanya penegakan hujjah kepada umat manusia dengan diturunkannya kitab-kitab dan diutusnya para rasul (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 8,60)
  8. Pada hari kiamat nanti akan tampak secara jelas bagi semua makhluk tentang kebesaran kekuasaan Allah, kebijaksanaan dan keadilan-Nya sehingga tidak ada lagi sisa kekuasaan manusia yang ketika di dunia pernah dimiliki oleh para raja dan penguasa. Pada saat itu semua orang tunduk kepada kekuasaan-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39)
  9. Pada ayat pertama sampai ayat ketiga dalam surat ini secara berurutan terkandung penetapan pokok-pokok ibadah yaitu cinta (mahabbah), harapan (roja'), dan takut (khauf) (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 29)
  10. Ayat-ayat tersebut mengandung bantahan bagi orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan modal rasa cinta semata (seperti halnya kaum Sufi), rasa harap semata (seperti halnya kaum Murji'ah), atau rasa takut semata (seperti halnya kaum Khawarij) (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 29) 

Faidah Dari Ayat Keempat

Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in
Artinya: Hanya Kepada-Mu Kami Beribadah dan Hanya Kepada-Mu Kami Meminta Pertolongan

  1. Penetapan tauhid uluhiyah; yaitu mengesakan Allah dalam beribadah serta mengikhlaskan agama (ketaatan) semata-mata untuk Allah (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/37,38]). Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah ini merupakan pokok terbesar di dalam ajaran Islam (lihat al-Qowa'id al-Hisan, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [8/158])
  2. Maksud ayat ini adalah “Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal kecuali kepada-Mu.” Pada kedua hal inilah berporos seluruh ajaran agama. Dua kalimat inilah yang menjadi rahasia kemuliaan surat al-Fatihah dan intisari ajaran al-Qur'an (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/34]) 
  3. Ayat Iyyaka na'budu bermakna; “Kami beribadah kepada-Mu dengan penuh rasa cinta, takut, dan harap”, sebab ibadah tidak akan terealisasi dengan benar kecuali dengan ketiganya (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 21)
  4. Ayat Iyyaka na'budu mengandung bantahan bagi orang-orang musyrik; yang beribadah kepada selain Allah sebagai sekutu bagi Allah (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 9)
  5. Ayat Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in mengandung pemurnian ibadah semata-mata kepada Allah. Dalam susunan ayat ini objeknya didahulukan (iyyaka). Padahal seharusnya ia terletak di belakang. Dalam bahasa arab susunan semacam ini menunjukkan pembatasan dan pengkhususan. Sehingga arti ayat ini adalah, “Kami tidak beribadah kecuali hanya kepada-Mu. Dan kami tidak memohon pertolongan kecuali kepada-Mu.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/35])
  6. Kalimat Iyyaka na'budu berkaitan erat dengan nama 'Allah' yang telah disebutkan di awal surat ini, sedangkan kalimat Iyyaka nasta'in berkaitan erat dengan nama 'ar-Rabb' yang juga telah disebutkan sebelumnya (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 67). Hal itu disebabkan Iyyaka na'budu mengandung tauhid uluhiyah yang terkandung dalam nama Allah. Adapun Iyyaka nasta'in mengandung tauhid rububiyah yang terkandung dalam nama ar-Rabb.
  7. Ibadah memadukan dua perkara pokok; puncak rasa cinta dengan puncak perendahan diri dan ketundukan (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 65). Adapun isti'anah (memohon pertolongan kepada Allah) memadukan dua hal pokok yang lain, yaitu: tsiqah/kepercayaan kepada Allah dan bersandar kepada-Nya (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 66)    
  8. Penetapan adanya kenabian dan pengutusan para rasul. Karena umat manusia tidak mungkin bisa mengenal tata-cara beribadah secara terperinci kecuali dengan perantara penjelasan para rasul (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 9)
  9. Penyebutan ibadah sebelum isti'anah (meminta pertolongan) adalah dalam rangka menyebutkan sesuatu yang memiliki cakupan lebih luas daripada yang lebih sempit. Karena isti'anah merupakan bagian dari ibadah. Selain itu, hal ini juga dalam rangka mendahulukan hak Allah ta'ala (ibadah) di atas hak hamba (isti'anah) (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/35], lihat juga at-Tas-hil li Ta'wil at-Tanzil [1/54]). Ibnul Qayyim rahimahullah memaknakan bahwa didahulukannya ibadah sebelum isti'anah adalah karena ibadah merupakan tujuan (ghoyah) sedangkan isti'anah adalah sarananya. Oleh sebab itu tujuan lebih didahulukan penyebutannya sebelum sarana (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 66, Tafsir al-Qur'an al-Azhim [1/34]) 
  10. Iyyaka na'budu merupakan bagian milik Allah, sedangkan Iyyaka nasta'in merupakan jatah untuk hamba (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 65). Karena hanya Allah yang berhak disembah maka ibadah itu semuanya menjadi hak-Nya semata. Dan karena hamba itu penuh dengan kelemahan dan kekurangan maka dia berhak -sekaligus wajib atasnya- untuk meminta pertolongan kepada Allah ta'ala Rabb seluruh alam semesta. Allahu a'lam.
  11. Penyebutan isti'anah secara terpisah dari ibadah padahal ia merupakan bagian dari ibadah adalah dikarenakan begitu besarnya kebutuhan seorang hamba terhadapnya. Sebab tanpa pertolongan Allah dia tidak akan mampu untuk beribadah; apakah itu dalam melaksanakan perintah ataupun meninggalkan larangan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/36])    
  12. Tidaklah seorang menjadi hamba yang sejati kecuali apabila dia mengikhlaskan ibadahnya semata-mata untuk Allah dan berlepas diri dari peribadatan kepada segala sesembahan selain-Nya, meyakini kebatilannya, membenci perbuatan tersebut beserta pelakunya, dan memusuhinya karena Allah ta'ala (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 18)
  13. Inilah hakikat ajaran Islam yang benar; yaitu kepasrahan diri kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada Allah dengan penuh kepatuhan, serta berlepas diri dari syirik dan pelakunya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19)
  14. Semestinya seorang hamba bertawakal kepada Allah semata dalam menghadapi segala urusan agama maupun urusan dunianya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19)
  15. Sebuah realita yang sangat menyedihkan adalah banyak diantara kaum muslimin di masa kita sekarang ini yang telah mengucapkan Iyyaka na'budu wa Iyyaka nasta'in, akan tetapi di sisi lain mereka tidak memperhatikan kandungan maknanya sama sekali. Mereka tidak memurnikan ibadahnya kepada Allah semata. Mereka juga beribadah kepada selain-Nya. Seperti halnya orang-orang yang berdoa -padahal doa adalah intisari ibadah, pen- kepada Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, berdoa kepada Husain, kepada Abdul Qadir Jailani, Badawi, dan lain sebagainya. Ini semua termasuk perbuatan syirik akbar dan dosa yang tidak akan diampuni pelakunya apabila dia mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19-20) 
  16. Kalimat Iyyaka na'budu mengandung obat bagi penyakit riya' sedangkan kalimat Iyyaka nasta'in mengandung obat bagi penyakit sombong/kibr (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 48)
  17. Ayat ini juga mengandung bantahan yang jelas bagi paham wahdatul wujud -kesatuan antara Allah dengan makhluk- (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 51)
  18. Dalam kalimat Iyyaka nasta'in terkandung bantahan bagi kaum Qodariyah (penolak takdir). Mereka beranggapan bahwa segala perbuatan hamba terjadi dengan kehendak dirinya sendiri tanpa ada campur tangan kehendak Allah. Kalau memang demikian lantas apa gunanya memohon pertolongan kepada-Nya?! (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 54)
  19. Ayat ini juga mengandung bantahan bagi kaum Jabriyah yang beranggapan bahwa Allah memaksa hamba-hamba-Nya dan tidak memberikan pilihan sama sekali bagi mereka di dalam hidupnya. Sebab kalau seandainya hamba memang dipaksa dalam perbuatan-perbuatannya maka tidak dibenarkan baginya untuk mengucapkan “Kami beribadah” atau “Kami meminta pertolongan” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 55)
  20. Mewujudkan kandungan Iyyaka na'budu wa Iyyaka nasta'in merupakan wasilah/sarana untuk bisa meraih kebahagiaan yang abadi dan jalan keselamatan dari berbagai keburukan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/36])
  21. Ayat ini menunjukkan bahwa ibadah seorang hamba tidaklah dianggap benar tanpa pengingkaran terhadap thoghut/sesembahan selain Allah (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 30)
  22. Ayat ini juga menunjukkan bahwa orang yang menunaikan sholat akan tetapi dia juga berdoa kepada selain Allah bukanlah seorang muslim, akan tetapi dia adalah musyrik (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 30)
  23. Ayat ini mengandung makna laa ilaha illallah yang mencakup penolakan segala sesembahan selain Allah (nafi dalam kata-kata laa ilaha) dan penetapan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar (itsbat dalam kata-kata illallah) (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 31)
  24. Ayat ini dan juga ayat sesudahnya menunjukkan bahwa ibadah tidak benar jika tidak memenuhi syarat ikhlas dan mutaba'ah/mengikuti tuntunan (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 31)
  25. Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang bertawakal kepada makhluk telah berbuat syirik dalam beribadah kepada Allah (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 31)

Faidah Dari Ayat Kelima

Ihdinash Shirathal Mustaqim
Artinya: Tunjukilah Kami Jalan Yang Lurus

  1. Doa ini -yaitu doa meminta hidayah- merupakan doa yang paling mencakup berbagai kebaikan. Doa yang paling bermanfaat bagi seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap hamba wajib untuk berdoa dengannya dalam setiap raka'at sholat yang dilakukannya; karena sedemikian besar kebutuhan dirinya kepada hidayah -menuju dan di atas- jalan yang lurus (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/36])
  2. Penetapan kerasulan. Karena hidayah tidak akan mungkin tersampaikan kepada umat manusia kecuali melalui perantara dakwah para rasul (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 9, Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 9)
  3. Besarnya kebutuhan hamba terhadap hidayah. Dia senantiasa membutuhkannya baik untuk hal-hal yang terkait dengan masa lalu, sekarang, maupun akan datang. Untuk masa lalu maka dia membutuhkan hidayah untuk bisa bermuhasabah atas seluruh amalan yang pernah dilakukannya dan kemudian bertaubat darinya jika itu adalah kesalahan dan bersyukur kepada Allah apabila yang dia lakukan sudah benar. Adapun masa sekarang maka dia membutuhkan hidayah untuk mengetahui apakah perbuatan yang sedang dilakukannya benar ataukah tidak. Untuk masa depan maka dia membutuhkan hidayah agar bisa berjalan di atas jalan yang benar dan tegar di atasnya (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 9, adh-Dhau' al-Munir [1/25-26], Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/37-38])
  4. Seorang hamba tidak akan bisa meraih kebahagiaan yang sejati kecuali dengan meniti jalan yang lurus, dan menunjukkan pula bahwa dia tidak akan bisa istiqomah di atasnya kecuali dengan hidayah dari Rabbnya. Sebagaimana pula dia tidak akan bisa beribadah kepada-Nya tanpa pertolongan dari-Nya (lihat adh-Dhau' al-Munir [1/27])
  5. Hidayah ada dua macam: Pertama; hidayah berupa penunjukan, arahan, dan keterangan. Lawan dari hidayah ini adalah kesesatan (dholal). Kedua; hidayah berupa taufik, ilham, dan keistiqomahan. Lawan dari hidayah ini adalah penyimpangan (ghoyyu) (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 20). Hidayah taufik adalah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya kamu tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai.” (QS. al-Qoshosh: 56). Adapun hidayah penunjukan adalah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya kamu benar-benar memberikan hidayah menuju jalan yang lurus.” (QS. asy-Syura: 52) (lihat at-Tas-hil li Ta'wil at-Tanzil [1/109])
  6. Hidayah juga bisa dibagi menjadi hidayah 'menuju jalan' dan hidayah 'di atas jalan'. Hidayah menuju jalan adalah hidayah untuk memeluk agama Islam dan meninggalkan agama-agama yang lain. Adapun hidayah di atas jalan adalah hidayah untuk bisa melaksanakan rincian-rincian ajaran di dalam agama Islam (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/36])     
  7. Dalam memaknai jalan yang lurus ada beberapa penafsiran. Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma mengatakan bahwa yang dimaksud jalan lurus adalah Islam. Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu mengatakan bahwa maksudnya adalah al-Qur'an. Bakr bin Abdullah al-Muzani berkata bahwa maksudnya adalah jalan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua penafsiran ini tidak bertentangan dan saling menjelaskan. Barangsiapa yang istiqomah di atas jalan yang lurus yang bersifat maknawi ketika hidup di dunia maka kelak di akherat dia akan selamat ketika meniti shirath yang sebenarnya; yaitu jembatan yang dibentangkan di atas neraka (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 21, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/37])
  8. Ayat ini mengandung bantahan bagi seluruh kaum ahli bid'ah dan seluruh agama serta kelompok-kelompok yang menyimpang dari kebenaran (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id Surah al-Fatihah, hal. 9,24, at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 49)
  9. Jalan yang lurus ini mencakup pengenalan terhadap kebenaran dan ketundukan kepadanya, setia mengikutinya, mendahulukannya di atas segala kepentingan, membela dan mendakwahkannya, serta melawan serangan musuh-musuhnya (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 49)
  10. Dalam kalimat Ihdinash shirathal mustaqim juga terkandung bantahan bagi kaum Qodariyah (penolak takdir). Mereka beranggapan bahwa segala perbuatan hamba terjadi dengan kehendak dirinya sendiri tanpa ada campur tangan kehendak Allah. Sementara di dalam ayat ini kita diajari untuk memohon hidayah kepada-Nya. Hidayah yang kita minta tentu saja bukan hanya ilmu akan tetapi juga hidayah taufik sehingga bisa beramal. Kalaulah memang perbuatan hamba hanya tergantung kepada kehendak dirinya sendiri -tanpa ada pengaruh dari kehendak Allah- lalu apa perlunya meminta hidayah kepada-Nya?! (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 54) 
  11. Jalan yang lurus adalah jalan terdekat untuk menggapai cita-cita. Sebagaimana halnya garis lurus adalah jarak terdekat yang menghubungkan antara dua buah titik (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 60)

Faidah Dari Ayat Keenam dan Ketujuh

Shirathalladzina An'amta 'Alaihim,
Ghairil Maghdhubi 'Alaihim wa Ladhdhaalliin

Artinya: Yaitu Jalannya Orang-Orang Yang Engkau Beri Nikmat Kepada Mereka
Bukan Jalannya Orang-Orang Yang Dimurkai dan Bukan Pula Orang-Orang Yang Sesat

  1. Jalan yang lurus ini adalah jalannya orang-orang yang bertauhid. Merekalah orang-orang yang telah merealisasikan kandungan ayat Iyyaka na'budu wa Iyyaka nasta'in di dalam hidupnya. Adapun orang-orang musyrik adalah kaum yang dimurkai dan tersesat dari jalan Allah (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 54)
  2. Yang dimaksud 'orang-orang yang diberikan nikmat' itu adalah para nabi, shiddiqin, syuhada', dan orang-orang salih (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu'ah al-Kamilah [1/37]). Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul, maka mereka itulah yang akan bersama dengan orang-orang yang diberikan kenikmatan oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada' dan orang-orang yang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa': 69) (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [1/38], Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 22)
  3. Zaid bin Aslam rahimahullah -guru Imam Malik- menafsirkan, “Orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah itu adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan 'Umar.” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 64). Dengan demikian, ayat ini mengandung penetapan keabsahan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu'anhu dalam memangku jabatan khalifah, sekaligus bantahan bagi kaum Syi'ah yang mempertanyakan dan mencela kekhilafahan beliau (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 34). Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu pernah berkata, “Seandainya ditimbang iman Abu Bakar dengan iman seluruh penduduk bumi, niscaya lebih berat iman Abu Bakar.” (lihat as-Sunnah, sanadnya hasan, lihat as-Sunnah li Abdillah ibni Ahmad ibni Hanbal, Jilid 1 hal. 378)
  4. Ayat ini menunjukkan bahwa hidayah menuju jalan yang lurus adalah nikmat dan anugerah dari Allah ta'ala kepada hamba. Oleh sebab itu tidak semestinya seorang hamba merasa ujub dengan amal dan ketaatan yang dimilikinya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 22)
  5. Yang dimaksud 'orang yang dimurkai' adalah Yahudi, sedangkan 'orang yang tersesat' adalah Nasrani berdasarkan hadits 'Adi bin Hatim yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 23). Hal ini menunjukkan bahwa Yahudi dan Nasrani tidak berada di atas jalan yang lurus (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 34)
  6. Ayat ini mengandung penetapan salah satu sifat Allah yaitu al-Ghadhab (marah) sebagaimana kemarahan yang sesuai dengan kemuliaan-Nya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 23). Sehingga ia mengandung bantahan bagi orang yang menyimpangkan makna Ghadhab menjadi Irodatul Intiqom/kehendak untuk menghukum (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 35)
  7. Ayat ini juga mengandung bantahan bagi orang-orang yang menganut paham kebebasan beragama (Hurriyat al-Adyan) dan berupaya untuk mempersatukan agama-agama yang ada (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 34)
  8. Berdasarkan ayat ini manusia bisa dibagi ke dalam tiga kelompok; [1] orang-orang yang mendapatkan nikmat; yaitu orang yang mengetahui kebenaran dan tunduk kepadanya, [2] orang-orang yang mengetahui kebenaran akan tetapi menolaknya; mereka itulah orang yang dimurkai, [3] orang-orang yang tidak mengetahui kebenaran; mereka inilah orang-orang yang tersesat (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 60,63)
  9. Ayat ini mengandung bantahan bagi kaum Rafidhah/Syi'ah. Sebab para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam -yang dimusuhi mati-matian oleh kaum Syi'ah- merupakan orang-orang yang paling mengetahui kebenaran dan paling tunduk kepadanya. Dan hal itu bisa kita buktikan dengan melihat pengaruh nyata dakwah mereka yang sangat mengagumkan dengan ditaklukkannya berbagai negeri dan ditundukkannya hati-hati manusia untuk memeluk agama Allah ta'ala melalui perantara dakwah mereka. Hal ini jelas bertolak belakang dengan Rafidhah; dimana pun mereka berada mereka senantiasa memusuhi Islam dan membantu musuh-musuh Islam dalam menghancurkan kaum muslimin. Maka siapakah gerangan diantara kedua kelompok ini yang lebih pantas dan layak disebut berada di atas shirathal mustaqim?! Oleh sebab itulah para ulama salaf menafsirkan shirathal mustaqim dengan Abu Bakar, 'Umar dan para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun Rafidhah; maka mereka adalah orang-orang yang paling sengit permusuhan dan kebenciannya kepada Abu Bakar dan 'Umar radhiyallahu'anhuma (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 63-64)
  10. Ayat ini mengandung peringatan kepada umat Islam agar tidak ber-tasyabbuh (meniru-niru) kepada Yahudi dan Nasrani (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 35)
  11. Ayat ini juga mengandung peringatan keras bagi para ulama kaum muslimin dan para ahli ibadah diantara mereka; supaya tidak terjerumus ke dalam kemurkaan Allah -akibat tidak beramal dengan ilmunya- dan selamat dari kesesatan -akibat beribadah tanpa landasan ilmu yang benar- (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 35)
_____________
Sumber:  Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi 
Website beliau:  www.abumushlih.com

Faisal Choir Blog :

Blog ini merupakan kumpulan Artikel dan Ebook Islami dari berbagai sumber. Silahkan jika ingin menyalin atau menyebarkan isi dari Blog ini dengan mencantumkan sumbernya, semoga bermanfaat. “Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” (HR. Muslim). Twitter | Facebook | Google Plus

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Untaian Faedah Surat al-Fatihah Description: Rating: 5 Reviewed By: samudera ilmu
Scroll to Top